Referensi: Puasa Asyura (Bulan Muharram) di Kitab Shahih Fikih Sunnah

Puasa di bulan Muharram, dan lebih ditekankan pada hari kesembilan dan kesepuluh (Asyura)

Disalin dari buku/kitab,
Judul: Shahih Fikih Sunnah (صحيح فقه السنة)
Judul asli: Shahih Fiqih As-Sunnah Wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib Al A’immah
Penulis asli (Fiqhus Sunnah/ Fikih Sunnah): Sayyid Sabiq
Pengomentar: Nashiruddin Al-Albani, Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penerjemah Indonesia: Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim
Cetakan, tahun terbit: Pertama, Juli 2006
Penerbit: Pustaka Azzam, Jakarta
Halaman yang dibahas: 222-224


Dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Muharram, sesuai hadits Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw pernah bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامُ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلأَةِ بَعْدَ الْفَرِ يْضَةِ صَلأَةُ اللَّيْلِ
Artinya:
Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah (puasa) di bulan Muharram (bulan Allah), dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam."[1]

Anjuran puasa di bulan ini lebih ditekankan lagi pada hari kesembilan dan kesepuluh (Asyura), sesuai riwayat dari Qatadah bahwa Nabi saw bersabda,

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَحْتََسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Artinya:
Puasa di hari Asyura, aku mengharapkan balasan dari Allah untuk mengampuni (dosa) selama setahun sebelumnya.”[2]

Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai puasa Asyura’ (hari kesepuluh di bulan Muharram)? Dia menjawab, “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah saw berpuasa satu hari dan memohon keutamaannya melebihi keutamaan hari-hari lainnya selain hari ini (Asyura), dan (puasa) satu bulan ini. Yang dimaksud adalah Ramadhan.”[3]

Juga dianjurkan untuk berpuasa pada hari sebelum hari Asyura tersebut, yakni hari kesembilan di bulan Muharram, sesuai hadits Ibnu Abbas, dia berkata, “Tatkala Rasulullah saw berpuasa Asyura, dan beliau sangat menganjurkannya, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang dibesar-besarkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah saw bersabda,

فَأِنْ كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – أِن ْشَاءَ اللهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّا سِعَ
Artinya:
Kalau saja tahun depan (aku masih berada di tengah-tengah kalian) –insya Allah- maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan.

Ibnu Abbas berkata, “(Namun) sebelum datang tahun berikutnya, Rasulullah saw telah wafat terlebih dahulu.””[4]

Sebagian ulama menganjurkan untuk berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh di bulan Muharram (menggabung), sehingga tidak menyerupai orang-orang Yahudi yang hanya melakukannya pada hari kesepuluh.[5] Ini adalah pendapat Malik, Syafi’i, dan Ahmad.

Catatan:
Sebagian ulama juga menganjurkan puasa pada hari kesebelas, sebagai kelanjutan dari hari kesembilan dan kesepuluh berlandaskan riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw pernah bersabda,

صُو مُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ، صُو مُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَ بَعْدَهُ يَومًا
Artinya:
Berpuasalah kalian pada hari Asyura dan bedakanlah diri kalian dari orang-orang yahudi, berpuasalah satu hari sebelumnya dan satu hari setelahnya.”[6]

Akan tetapi hadits ini sangat lemah dan tidak ada sama sekali dalil yang menyatakan sunah berpuasa pada hari kesebelas. Maka hendaknya semua memperhatikannya. Wallahu a’lam.

Referensi:
[1] Shahih. HR. Muslim (1163), An-Nasa’i di dalam Al-Kubra (2905), dan Ibnu Majah (1742).
[2] Shahih. HR. Muslim (1162).
[3] Shahih. HR. Al-Bukhari (2006), Muslim (1132).
[4] Shahih. HR. Muslim (1134).
[5] Syarh Az-Zarqawi (2/237) dan Al-Majmu’ (6/383).
[6] Dha’if jiddan (sangat lemah). HR. Ahmad (2418), Al-Humaidi (485), Ibnu Khuzaimah (2095), dan yang lainnya.

[+/-] Selengkapnya...