Diari: Mahalnya Tarif Faximile via Wartel

Artikel yang dalam kategori Diari adalah artikel bebas dan merupakan dokumentasi dari kejadian sehari-hari. Tidak ada sesuatu yang sangat ilmiah dalam posting ini, semuanya adalah nyata dan merupakan sebuah pengalaman. Supaya sebuah pengalaman menjadi berharga bukan saja untuk penulisnya. Semoga bermanfaat.

INTINYA:
Silakan Anda baca bagian inti ini saja, jika terburu-buru, sembari terbata-bata, dan akibatnya malah tertimpuk batu (?). Selebihnya ulasan dapat Anda lompati.

Cerita bermula dari keinginan untuk melakukan fax ke suatu alamat perkantoran di Jakarta. Dokumen yang hendak di-fax adalah 3 lembar. Dengan posisi yang berada di (dari) Sidoarjo (kode telepon: 031, ikut kode telepon regional Surabaya) dan tujuan telepon seperti yang telah disebutkan adalah (tujuan) Jakarta Pusat (kode telepon: 021), dengan tarif yang ditentukan oleh sang operator wartel adalah Rp. 6.000/lbr (enam ribu rupiah/lembar fax-nya) , walhasil kocek yang harus dikeluarkan adalah Rp. 18.000 untuk tiga lembarnya. Hmmm... tarif yang sangat mahal.

Niat semula adalah untuk pergi ke masjid untuk menunaikan sholat Ashar, dengan terlintas berpikir untuk nge-fax sepulang dari masjid, persiapan membawa uang pun cuma sekedarnya. Alhamdulillah, dari uang yang cuma sekedarnya itulah, semuanya dapat tercukupi, tanpa perlu balik ke rumah atau tinggal KTP (sepertinya hal ini tidak mungkin, karena pada saat itu saya tidak membawa KTP ;-)).

ULASAN:
Tapi bisa saja jika dibandingkan dengan sarana lainnya, ongkos tersebut bisa relatif murah, misal dibandingkan dengan pengiriman jasa titip kilat dokumen, semacam Tiki yang harus menunggu kiriman sampai tempat di esok harinya meski dengan harga yang lebih terjangkau daripada fax yang berlembar-lembar. Ini kalau dari sudut pandang cost-effective. Bagaimana dengan via email?

Tentunya menjadi sangat efektif jika via email. Ongkosnya sangat murah, dan bahkan bisa paling murah, karena teknisnya untuk akses Internet sendiri bisa memilih untuk minimalisasi biayanya lewat warnet. Dengan dokumen-dokumen yang telah di-scan, dan tinggal buka email account kita, lalu klik attach (atau 'lampirkan', pada penyedia email dengan antarmuka bahasa Indonesia). Tapi ingat, imel (email) juga ada kelemahannya, yaitu sisi ketidaknyamanan sang penerima kiriman, di mana dia harus mengecek imel terlebih dahulu, lalu men-download attachment-nya. Hal ini cukup menjadi masalah, karena akses Internet yang tidak semuanya broadband. Meng-upload attachment (bagi sang pengirim) jadi masalah, download-nya pun dari sisi pengirim juga jadi masalah (bagi sebagian pihak yang koneksi Internetnya ber-bandwidth rendah tentunya). Dengan demikian efisiensi dan efektivitas imel menjadi ditangguhkan untuk sementara, setidaknya hingga koneksi Internet Indonesia menjadi baik dan terjangkau (tidak perlu yang sangat cepat dan murah). Metode imel terkesan lebih ribet daripada sekedar menerima fax dan menyobek kertas feed-nya.

Harus tetap diakui plus-minus dari masing-masing media pengiriman. Silakan Anda pilih.

Pengalaman ini akan jadi bagian dari pengalaman Anda.

[+/-] Selengkapnya...